Jumat, 19 Desember 2008

KUBU (2)

Orang Rimba sebagai Salah Satu Etnik Minoritas di Indonesia

Orang Rimba atau lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam merupakan salah satu etnik minoritas di Indonesia. Di keteduhan hutan hujan dataran rendah Sumatera, mereka hidup dan mempertahankan tradisi budaya dari nenek moyang yang berpusat pada hutan sebagai sumber filosofinya. Kehidupan mereka relatif tidak banyak berubah dibandingkan dengan kehidupan nenek moyang mereka ratusan tahun silam. Mereka masih berburu, memungut, dan meramu hasil hutan. Saat ini sebagian dari mereka juga telah berladang. Oleh masyarakat luas mereka dikenal sebagai kelompok yang suka berpindah-pindah. Namun tidak seperti yang diduga banyak orang, mereka tidak berpindah secara terus menerus sepanjang waktu. Pada dasarnya mereka menetap. Mereka hanya berpindah apabila terjadi kematian salah satu anggota kelompoknya saja atau bila ada penyakit yang mewabah. Namun karena tingkat kematian yang tinggi, perpindahan sering terjadi. Akibatnya mereka terkesan sebagai kelompok nomaden.
Penggemar film dokumenter tentunya pernah menonton film mengenai kehidupan suku-suku asli rimba. Di antaranya adalah yang hidup di kedalaman hutan hujan amazon di Brazil yang diproduksi oleh National Geographic Society dan Discovery Channel. Filmnya banyak beredar di Indonesia dalam bentuk VCD. Kehidupan Orang Rimba sedikit mirip dengan kehidupan suku-suku tersebut. Beberapa stasiun televisi nasional juga pernah menayangkan film dokumenter mengenai kehidupan Orang Rimba. Meski tentu saja hanya sebagian kecil dimensi kehidupan Orang Rimba yang terekam dan ditayangkan.

Pedalaman Jambi merupakan ruang hidup Orang Rimba. Namun selain menjadi tempat hidup mereka, pedalaman Jambi juga merupakan rumah bagi etnik minoritas lain, yakni Orang Batin IX. Bersama dengan Orang Rimba, Orang Batin IX dikenal masyarakat luas dengan sebutan Orang Kubu. Bahkan tidak hanya itu, wilayah pedalaman Jambi dan bagian pulau Sumatera bagian tengah lainnya juga menjadi ruang hidup beberapa etnik minoritas yang berbeda. Di sana hidup Orang Sekak, Orang Talang Mamak, Orang Sakai, Orang Lom, Orang Duano, Orang Akit, Orang Bonai, dan beberapa lainnya. Mereka hidup tersebar mulai dari kawasan pantai sampai di dekat kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ruang hidup mereka bervariasi. Ada yang mendiami kawasan hutan di antara sungai-sungai besar, di rawa-rawa pantai, maupun di pulau-pulau lepas pantai.

Jumlah keseluruhan Orang Rimba yang tersebar di seluruh pedalaman Jambi diperkirakan antara 2000 sampai 3000 orang. Jumlah yang sangat kecil ini menegaskan betapa minoritasnya Orang Rimba. Keseluruhan jumlah Orang Rimba hanya setara dengan jumlah penduduk satu desa di pulau Jawa, bahkan mungkin lebih kecil. Bandingkan misalnya, dengan jumlah etnis Jawa yang berkisar 90 juta orang atau etnis Dayak yang berjumlah kira-kira 2 juta jiwa. Selain berjumlah kecil, Orang Rimba merupakan kelompok marginal. Meski tidak sepenuhnya terisolasi, mereka memiliki akses sangat terbatas untuk mengikuti gerak dunia modern. Mereka hampir tidak tersentuh pendidikan formal. Tidak mengherankan apabila mereka tidak memiliki akses kekuasaan di pemerintahan sama sekali. Lantas menjadi tidak aneh apabila Orang Rimba menjadi kelompok yang sangat lemah. Ketika hutan mereka yang kaya kayu dijarah, mereka tidak berdaya. Mereka hanya bisa meratapi hutan yang dihancurkan, yang berarti pertanda bahwa kehidupan mereka terancam.

Pengakuan terhadap eksistensi Orang Rimba secara legal hukum oleh negara belum lama diberikan. Itupun tidak secara langsung. Orang Rimba di hutan Bukit Duabelas baru mendapat pengakuan sah dari pemerintah melalui surat keputusan penetapan hutan Bukit Duabelas menjadi taman nasional pada tahun 2000. Dalam penetapan itu disebutkan bahwa selain untuk konservasi, taman nasional juga menjadi cagar bagi Orang Rimba agar kehidupan dan penghidupan mereka di dalam hutan terjaga. Taman nasional ditetapkan sebagai perlindungan bagi Orang Rimba.

Manakah yang Tepat: Orang Rimba, Suku Anak Dalam, atau Kubu?

Orang Rimba merupakan salah satu nama. Ada penamaan lain sebagai identitas mereka, seperti Kubu, Orang Dalam, Sanak, dan Suku Anak Dalam. Sejak berabad-abad yang lalu, masyarakat umum mengenal kelompok Orang Rimba sebagai Orang Kubu. Sampai saat ini pun, masih banyak anggota masyarakat yang menyebut mereka dengan sebutan Kubu. Istilah kubu juga menjadi nama internasional bagi Orang Rimba. Hal ini disebabkan peran para etnographer awal abad ini yang selalu menyebut Orang Rimba sebagai Kubu dalam tulisan-tulisannya. Akibatnya melekatlah nama kubu sebagai istilah resmi dalam literatur.

Saat ini kata kubu sangat dekat berasosiasi dengan sesuatu yang berbau primitif, kotor, dan tidak tahu sopan santun. Oleh orang-orang di desa-desa pinggir hutan, kata kubu digunakan untuk kata ejekan. Bila diterangkan tidak mengerti-mengerti juga, akan disebut “memang kubu!” Maksudnya ‘bodoh’. Bila anak-anak disuruh mandi tidak mau, merupakan hal biasa bila orangtua mereka menakut-nakuti “tidak mau mandi, mau jadi Orang Kubu?!” Bila bertindak tidak mengikuti sopan santun menurut ukuran orang desa itu, adalah hal biasa bila diumpat “dasar kubu!”

Kebanyakan Orang Rimba pada saat ini enggan disebut kubu. Bahkan, ada Orang Rimba yang mengatakan pada saya bahwa dirinya sangat marah kalau disebut sebagai kubu. Hal itu mereka anggap sebagai ejekan. Secara konotatif, kubu memang bermakna negatif, yakni bodoh, bau, dan jorok. Mereka lebih senang disebut sebagai Orang Rimba. Pada saat berbincang-bincang dengan mereka, untuk menyebut kelompok mereka sendiri, mereka sering mengatakan “kami Orang Rimbo...” Oleh sebab itulah dalam buku ini mereka disebut sebagai Orang Rimba.

Tidak jarang mereka juga menyebut diri mereka sendiri sebagai Orang Dalam. Sebab mereka adalah orang yang tinggal ‘di dalam’ hutan, sedangkan orang-orang desa dan lainnya tinggal ‘di luar’ hutan. Orang Rimba memiliki kosa kata khusus untuk menyebut orang desa dan semua orang yang bukan Orang Rimba, yakni Orang Terang. Mungkin istilah itu berasal dari adanya perbedaan suasana tempat tinggal. Hutan tempat tinggal Orang Rimba selalu teduh karena terlindung oleh pepohonan hutan yang besar-besar dan tinggi. Sedangkan wilayah orang desa dan lainnya selalu terang karena jarangnya pepohonan.

Mula-mula saya menyebut Orang Rimba sebagai Suku Anak Dalam sebagaimana koran-koran dan televisi memopulerkan demikian. Akan tetapi, nyatanya ada Orang Rimba yang tidak tahu dengan istilah itu. Mereka malah balik bertanya, “Suku Anak Dalam tu, apo?” Saya sempat kaget, mengapa yang diberi nama malah tidak tahu dengan namanya sendiri.

Suku Anak Dalam merupakan nama yang jauh lebih populer di mata masyarakat Indonesia daripada nama Orang Rimba. Hal itu merupakan peran media massa yang selalu mengekspos mereka dengan sebutan demikian. Pemerintah RI sendiri agaknya menggunakan nama Suku Anak Dalam sebagai istilah resmi. Hal ini terbukti dari penggunaan nama Suku Anak Dalam di dalam berbagai dokumen resmi dinas-dinas pemerintahan.

Masyarakat desa di sekitar kawasan tempat tinggal Orang Rimba menyebut Orang Rimba sebagai sanak, yang memiliki arti harfiah ‘saudara’. Pada awalnya panggilan sanak untuk Orang Rimba diberikan oleh orang Minangkabau, namun kemudian seluruh masyarakat di sekitar hutan ikut-ikutan memanggil mereka dengan sebutan sanak. Ketika berbincang-bincang dengan masyarakat desa dan merujuk pada Orang Rimba, saya pun menyebut mereka dengan kata ganti sanak. (bersambung)

(sumber:achmad mendatu)

artikel yang berhubungan



0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008 - layout4all